Sebuah jam melekat erat di salah satu dinding rumahku. Bentuknya bundar
dan terbingkai indah dengan garis merah yang tebal. Jarum panjang kecil
merah itu bergerak maju tanpa henti, pelan namun pasti. Dia terus maju
sampai ajalnya tiba dan ketika dia diberikan sebuah ruh yang baru, dia
pun mulai lagi berjalan maju ke depan dan ke depan, tidak pernah ke
belakang.
Waktu. Dua belas angka yang ada dalam sebuah jam waktu terlihat begitu
jelas. Putaran jarumnya yang pasti adalah waktu. Detik, lalu menit, lalu
jam, lalu hari, lalu minggu, bulan, windu dan seterusnya.
Sudah satu jam aku melihat jarum merah itu berputar dengan diam tanpa
gerak. Mataku tertuju pada setiap detik bunyi yang dikeluarkan jarum
itu. Sangat pasti dan jelas. Dan waktuku terbuang tanpa apa-apa.
Ungkapan mereka tentang waktu; 24 jam itu kurang, waktu itu berjalan
cepat, waktu itu emas dan sebagainya. Adalah merupakan ungkapan bukan
tanpa alasan. Benar adanya jika waktu itu emas, karena di setiap detik
itu adalah kesempatan. Jika waktu itu berjalan cepat, itu karena kita
lupa waktu. Padahal waktu itu berjalan perlahan dan pasti tanpa henti.
Jika 24 jam itu kurang dalam sehari, tidak benar. Karena 24 jam itu
takaran paling seimbang yang Allah berikan, hanya saja kita tidak bisa
membaginya dengan baik.
Melihat waktu. Lihatlah sekelilingmu! Teman sebayamu, yang dulu duduk
berdampingan di bangku sekolahmu, sekarang sudah beristri, sudah
berkerja dengan rajinnya, sudah berpenghasilan, sudah membangun rumah
dan seterusnya. Dinding rumahmu, yang sekarang tidak sekuat dulu,
warnanya yang telah memudar, dan kayunya pun sudah melapuh. Wajah
ayahmu, yang dulu muda sekarang bertambah kerut di dahi dan pipinya,
ototnya yang kuat dulu sekarang berkurang kuatnya, rambutnya yang hitam
dulu sekarang putih merona. Tidakkah ini waktu? Waktu yang telah
berlalu.
“Sebaik-baik umur adalah yang panjang lagi bermanfaat.” Pernah dengar
ungkapan ini? Rasulullah yang mengatakan ini. Kita sering berdoa, ya
Allah panjangkanlah umurku. Dengan alasan, kebaikanku masih sedikit,
tanggung jawabku belum tunai, dan lain-lain. Takut mati, tidak perlu
jika umur yang telah kita jalani penuh dengan manfaat. Berbeda halnya
mereka yang selalu meminta umur panjang tapi tidak memanfaatkan umurnya
dengan sebaik-baiknya.
Waktu, sudah berapa waktu kita yang telah berlalu dan menjadi abu?
Mengucapkan satu sholawat hanya membutuhkan kurang lebih 4 detik.
Mengucapkan tasbih, subhanallah hanya 2 detik. Begitu pula takbir,
tahmid, dan lainnya. Sayangnya, kita terperdaya oleh bisikan syetan dan
kawan-kawan. Padahal satu ucapan subhanallah itu adalah sebuah kebaikan.
Sebuah kebaikan itu ganjarannya berlipat 10 sampai pada 700 ganjaran.
Kurang lalai apa kita?
Iya, duduklah dengan manis, tidurlah sepanjang hari di atas singgasanamu
yang fana, hisap terus rokokmu sambil ditemani kopi panas, berbicaralah
kesana-kemari dan tertawalah sekeras-kerasnya. Anggaplah waktumu itu
panjang dan masih ada hari esok untuk berbenah. Siapa yang tahu sepuluh
menit yang akan datang nyawa kita sudah tidak bersama kita lagi? Seorang
mukmin itu selalu siap untuk mati, kapanpun dimanapun. Mari kita tutup
umur kita dengan kebaikan.(http://evinurliza.blogspot.com/2012/08/melihat-waktu.html)
Responses
0 Respones to "Melihat Waktu"
Post a Comment